kenali lebih jauh

Sabtu, 09 Juli 2016

Zootopia: Where Anyone Can Be Anything. Bagaimana dengan Dunia Nyata?


Sudahkah anda menonton film animasi yang satu ini?
Zootopia, film animasi produksi Walt Disney ini adalah salah satu film animasi yang membekas di ingatan saya. Walaupun selama ini, menurut saya belum ada film animasi yang membuat saya kecewa setelah menonton. Mungkin karena pada dasarnya saya pribadi yang kekanak-kanakan. Tapi kalau dipikirkan lagi, film animasi tidak melulu soal anak-anak. Penikmatnyapun tidak saja anak-anak, bahkan orang dewasapun keranjingan menonton film animasi. Dan orang dewasa tersebut salah satunya adalah saya.

Oke, kembali ke topik, Zootopia. Film animasi binatang ini menceritakan seorang kelinci (saya menggunakan kata "seorang" karena di film tersebut para hewan bertingkah laku layaknya manusia) yang berusaha mewujudkan mimpinya menjadi seorang Polisi Wanita. Namanya Judy Hopps. Apa yang unik dari film ini? Ya, di film tersebut diceritakan bahwa kaum kelinci bukanlah kaum yang "biasa" menjadi polisi. Para kelinci "ditakdirkan" menjadi seorang petani. Namun Joody Hoops, menghancurkan anggapan itu dengan menjadi Polisi pertama dari kaum kelinci. Selanjutnya juga diceritakan bahwa untuk mendapatkan kepercayaan saat bertugas sebagai polisi, Judy Hopps harus bersusah payah, sampai akhirnya dia menunjukkan taringnya sebagai Polisi dengan memecahkan msalah besar di Zootopia, perang dingin antara predator dan mangsa.


Hal yang menarik bagi saya saat menonton film ini adalah tagline dari film tersebut. Where Anyone Can Be Anything, Dimana Setiap Orang Bisa menjadi Apapun. Sangat sederhana, namun agaknya luar biasa bagi saya. Pertanyaannya, sudahkah anda menjadi apa yang anda inginkan? ataukah masih ada pagar-pagar yang membatasi anda untuk menjadi apa yang anda mau? Sudahkah dunia umunya dan Indonesia khususnya memberi ruang kepada setiap insan untuk dapat menjadi apa yang mereka inginkan? Dari kacamata saya, saya katakan belum.

Dunia, apalagi Indonesia masih membuat pagar-pagar batasan yang membuat setiap orang belum bebas untuk memilih akan seperti apa dirinya. Kita lahir dengan stigma-stigma yang melekat dan susah untuk dilepaskan. Jenis kelamin, agama, ras, status sosial, ekonomi dan banyak lagi hal-hal yang membatasi kebebasan seseorang untuk menjadi yang dia inginkan. Bicaralah betapa banyak pemuda disekitar saya yang terpaksa bekerja kantoran seseuai harapan keluarga, padahal passion-nya pada industri kreatif seperti desain grafis, film atau fotografi. Atau betapa banyak lulusan SMA yang memilih jurusan bukan dari apa yang mereka mau, tapi apa yang orang sekitar mau. Atau yang lebih tragis lagi, betapa banyak anak yang punya cita-cita tinggi, namun terhenti karena masalah ekonomi. Atau yang sedikit lebih sederhana, masih ada pergunjingan masyarakat, jika di sekitarnya ada laki-laki yang memilih menjadi Perancang Busana atau Ahli Tata Rias atau perempuan yang memilih untuk berpenampilan maskulin dengan rambut pendek khas laki-laki.

Kita masih hidup dalam batasan-batasan yang membuat "apa yang saya mau" kalah dengan "seharusnya saya seperti apa". Mungkin tidak semua orang mengalami ini. Namun dari perspektif saya, masih banyak yang seperti ini. Mungkin saya salah satunya. Syukurnya, saya orang yang mudah mencintai "apa yang seharusnya" walaupun kadang itu bukan "apa yang saya mau". Walaupun katanya hidup itu pilihan, namun tidak semua bisa dipilih.

Lalu, apa yang sebenarnya harus dilakukan? seperti Judy Hopps yang memperjuangkan "apa yang dia mau" atau menjadi realistis dengan menjadi "apa yang seharusnya". Apakah si anak penggemar sejarah, harus masuk kelas IPA karena orang tuanya mau anaknya menjadi dokter? Apakah si gitaris harus bekerja kantoran, karena keluarga menganggap pemusik tidak punya masa depan pasti? Apakah si gadis harus berambut panjang, menggunakan gaun, ber make up tebal, saat dia lebih nyaman berpenampilan maskulin? atau banyak hal-hal lain yang mempertemukan "apa yang saya mau" dengan "apa yang orang lain mau" atau "apa yang seharusnya"

Pada dasarnya memilih apa yang terbaik bagi dirinya adalah hak asasi manusia. Hak yang sering kali kita lupakan, apalagi di Indonesia. Anak-anak Indonesia tidak dilatih untuk berpendapat ketika sesuatu tidak sesuai dengan apa yang dirinya mau. Setidaknya masih banyak anak yang "takut" dengan orang tuanya, bukan "hormat" dengan orang tuanya.

Dan pada akhirnya, semua ada ditangan anda. apakah anda akan menjadi "apa yang anda mau" ataukah anda akan menjadi "apa yang orang lain mau" atau "apa yang seharusnya". Apapun itu, jangan lupa mencintai pilihan anda. Perjuangkan pilihan anda, dan jangan menyesal atas apa pilihan anda. Terakhir, tanyakan pada hati terdalam anda, sudahkah anda berdiri di atas kaki anda sendiri, atau apakah kereta anda sudah berjalan menuju kota yang anda inginkan. Jangan lupa untuk bahagia!

WAR, 09072016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar