kenali lebih jauh

Minggu, 10 Juli 2016

Kesetaraan Gender vs Keterwakilan Gender: Sebuah Perspektif Sederhana


Ibu Kita Kartini, Pendekar Bangsa, Pendekar Kaumnya, Untuk Merdeka
- Ibu Kita Kartini (W. R. Supratman)

R. A. Kartini, di Indonesia, siapa yang tidak mengenal beliau. Pahlawan Nasional Indonesia, yang dikenal sebagai pelopor peningkatan derajat perempuan di Indonesia. Perempun tanggung yang menjadi simbol perjuangan kesamaan hak kaum perempuan. Berbicara tentang RA Kartini, maka tidak akan lepas dari isi global - Kesetaraan Gender. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kesetaraan yang berasal dari kata Setara memiliki makna sejajar (sama tingginya dan sebagainya), sama tingkatnya (kedudukannya dan sebagainya) atau sepadan. Sedangkan dalam bahasa Inggris Kesetaraan Gender disebut Gender Equality yang bermakna the view that everyone should receive equal treatment and not be discriminated against based on their gender. Pada intinya kesetaraan gender adalah keadaan dimana laki-laki dan perempuan memiliki hak, kewajiban, dan kesempatan yang sama.

Banyak orang telah membahas sejauh mana kesetaraan gender ini bisa dilakukan. Apakah harus benar-benar disamakan, seperti misalnya laki-laki dan perempuan harus mengikuti program wajib militer. Akhirnya banyak orang, termasuk saya sepakat bahwa setara bukan berarti sama. Sehingga pada kasus kesetaraan gender, laki-laki dan perempuan diperlakukan sepadan, sesuai dengan seharusnya. Misal pegawai laki-laki dan perempuan yang melakukan pekerjaan yang sama, harus mendapatkan gaji yang sama atau tidak ada batasan bagi para mereka baik laki-laki maupun perempuan, yang merasa mampu, untuk mendapatkan suatu pekerjaan. Sekali lagi, sesuai dengan kemampuannya.

Kemudian hal lain yang menjadi perbincangan adalah kesetaraan gender yang kelewatan atau kebablasan. Gender tetaplah gender. Perempuan tetapkan dilahirkan untuk menjadi ibu, dan laki-laki tentunya ayahnya, tetap dengan kodratnya masing-masing. Namun, tidak bisa dipungkiri, kini banyak perempuan yang lupa akan kodratnya sebagai ibu, dan tenggelam dalam karirnya atau laki-laki yang dengan jumawa bersantai-santai di rumah, saat istrinya banting tulang mencari nafkah. Dan kembali kesetaraan gender dijadikan pembenaran atas hal ini. Menurut hemat saya sebagai orang awam, bukan aktivis kesetaraan gender, kaum feminist atau kaum anti kesetaraan, bukan setara semacam ini yang diharapkan terjadi. Perempuan tetaplah perempuan dan laki-laki tetaplah laki-laki, dalam koridor yang benar, dengan persamaan hak atas pengakuan bahwa mereka adalah manusia yang setara.

Tulisan saya kali ini tidak akan membahas dua hal di atas, yang tentunya sudah banyak dibahas oleh orang-orang lain yang tentunya lebih ahli dari saya. Sekali lagi saya adalah orang awam, bukan aktivis kesetaraan gender, kaum feminist atau kaum anti kesetaraan. saya awali dari pemahaman saya  bahwa setara adalah sepadan, dianggap sama, secara kesempatan tidak dibedakan. Maka kesetaraan gender artinya secara kesempatan, tidak dibedakan baik dia laki-laki maupun perempuan, haknya sama. Sebut saja dalam sebuah penelitian, ketikan kita menaruh asumsi bahwa laki-laki dan perempuan itu sama, artinya gender tidak berpengaruh terhadap variabel tergatung, sehingga variabel gender bisa ditiadakan. Misalnya ketika saya melakukan penelitian tentang pengaruh lama jam belajar efektif dengan nilai siswa suatu SMA. Maka ketika kita berasumsi bahwa laki-laki dan perempuan itu setara, sama, atau sepadan, variabel gender bisa kita keluarkan, sehingga tidak perlu diperhitungkan. Itu hanyalah contoh (saya bukan sarjana pendidikan, yang cukup paham apakah gender berpengaruh dalam prose belajar mengajar).

Beranjak dari pemahaman tersebut, beberapa minggu yang lalu saya tergelitik ketika di lingkungan komunitas saya digaungkan "kesetaraan gender" yang bagi saya merugikan beberapa pihak. Apa dan bagaimana itu, tidaklah perlu saya bahas. Saya hanya ingin mmbawa perspektif saya yang awam ini. Misalnya saya contohkan kasusnya seperti ini :

  1. Di sebuah kelas, setelah melewati satu semester, proses belajar mengajar, ulangan harian, dan ulangan umum. Terpilihlah juara 1, 2 dan 3 di kelas tersebut, dimana ketiga-tiganya adalah perempuan. Kemudian, dengan alasan kesetaraan gender, Sang Guru mengubah nilai siswa juara 3, sehingga dia tidak masuk 3 besar, digantikan oleh siswa lain, laki-laki. Sehingga kini 3 besar terihat cukup setara dengan 2 perempuan dan 1 laki-laki
  2. Kasus lainnya, di sebuah perusahaan akan dibentuk tim untuk akreditasi perusahaan. Dimana mereka yang masuk tim akan mendapatkan promosi kenaikan jabatan. Anggota tim haruslah orang-orang yang memang memiliki loyalitas terhadap perusahaan, dinilai dari poin penilaian oleh atasan. Ketika dipilih 10 orang, didapatkan 6 laki-laki dan 4 perempuan. Dan dengan alasan kesetaraan gender, orang laki-laki keenam, yang jelas memiliki loyalitas terhadap perusahaan, digugurkan dan digantikan oleh pegawai perempuan yang secara loyalitas kalah dengan laki-laki tadi.
Dari dua kasus tersebut (yang mewakili kasus yang saya alami), saya ingin mengantarkan sebuah pemahaman bahwa kesetaraan gender bukanlah keterwakilan gender. Ketika kita berbicara bahwa laki-laki dan perempuan setara, memiliki kesempatan yang sama. Maka mereka adalah manusia, tidak membawa entitas sebagai laki-laki ataupun perempuan. Yang membedakan mereka adalah apa yang mereka lakukan, apa yang mereka perjuangkan, kemampuan, pengabdian, usaha ataupun loyalitas mereka. Teramat sangat disayangkan ketika seseorang yang sepantasnya menerima haknya, malah digeser karena gender mereka. Pada kasus 1, apakah Si Juara 3 salah terlahir sebagai perempuan, sehingga dia tidak berhak menjadi juara 3. atau pada kasus kedua, apakah pegawai laki-laki tersebut salah lahir sebagai laki-laki? Terlepas dari keyakinan kita bahwa itu adalah takdir Tuhan, saya tetap menghayati bahwa siapapun dia, baik laki-laki ataupun perempuan, ketika sesuatu adalah haknya, apalai atas perjuangannya, maka mereka pantas mendapatkannya, tanpa alasan apapun termasuk kesetaraan gender.

Menurut saya, kesetaraan gender adalah keadaan universal dimana manusia adalah manusia. Sepadan secara peluang dan kesempatan. Sehingga dalam praktiknya, variabel-variabel lain yang dijadikan cara menilai manusia tersebut, bukan gender. Berbeda dengan keterwakilan gender, yang mendahulukan alasan gender dibandingkan variabel lain seperti kemampuan. Dan inilah yang kerap dibenarkan oleh banyak pihak. Orang-orang sering menganggap bahwa sesuatu yang memiliki persentase laki-laki dan perempuan yang sama itu adalah simbol kesetaraan gender, tanpa memikirkan apakah mereka memiliki kemampuan disana. Bagi kita yang berada di luar lingkaran itu mungkin tidak merasakannya. Namun bagi mereka yang ada di lingkaran tersebut, yang memperjuangkan sesuatu tersebut, dan kemudian digeser hanya karena alasan "kesetaraan gender" yang bagi saya adalah "keterwakilan gender", agaknya itu pasti mengecewakan.

Menutup tulisan ini, saya sebagai  orang awam, bukan aktivis kesetaraan gender, kaum feminist atau kaum anti kesetaraan ingin menghadirkan pemahaman dan perspektif saya tentang kesetaraan gender. Benar ataupun salah, mohon dimaafkan. Ini hanya tulisan kegundahan hati saya terhadap sesuatu yang dipikiran saya tidak benar. Saya menyebutnya letupan ide. Semua kembali kepada diri kita-masing-masing. Namun bagi saya, terlepas dari sesuatu itu adalah jalan Tuhan, manusia adalah manusia, ketika mereka layak, maka mereka harus mendapatkan haknya, tanpa memikirkan dia laki-laki ataupun perempuan. Karena pada dasarnya, manusia tidak bisa memilih dia terlahir sebagai laki-laki ataupun perempuan. Yang bisa dia pilih adalah berusaha, atau tidak berusaha.

WAR, 10072016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar