Setelah vakum menulis hampir seminggu, akhirnya hari ini
menulis kembali. Kali ini penulis akan menulis tentang hal yang dekat dengan
dunia penulis - kesehatan. Oh ya, penulis adalah seorang dokter internship di
salah satu RS di Denpasar. Bukan akan membahas penyakit, obat, atau kasus medis
lainnya. Penulis masih berdiri di jalur kritik sosial, mungkin hobi, mungkin
memang jalannya. Kali ini penulis akan membahas tentang Surat Sakit atau Surat
Keterangan Sakit.
Surat Sakit atau Surat Keterangan Sakit atau kerap juga
disebut Surat DC adalah surat yang dikeluarkan oleh pusat pelayanan kesehatan
(RS/Puskesmas/Klinik), dengan dokter sebagai penanggung jawab. Lazimnya surat
keterangan sakit dipergunakan untuk menerangkan bahwa seseorang tersebut sakit
dan tidak bisa untuk menjalankan aktifitas tertentu, misal bekerja atau
bersekolah. Mengapa penulis membahas masalah ini? Bagi yang berprofesi sebagai
tenaga kesehatan pasti pernah merasakan harus adu mulut dengan beberapa oknum
pasien atau bahkan bukan pasien (saya jelaskan di belakang) yang meminta surat
keterangan sakit tanpa indikasi (bahkan cenderung memaksa). Seberapa
berharganya sebuah surat DC bagi seorang pasien? Mengapa surat DC tersebut
begitu penting?
Perlu diketahui bersama bahwa surat DC adalah sebuah dokumen
penting yang dikeluarkan oleh seorang dokter. Penting karena dengan surat DC
seseorang pasien dapat mendapatkan izin dari aktifitasnya bekerja atau
bersekolah, sedangkan bekerja dan bersekolah adalah kewajiban pasien tersebut.
Dengan kata lain, surat DC mengantarkan pasien untuk lepas dari kewajibannya.
Disini terjadi tarik menarik 2 kepentingan dimana dokter berada di tengahnya.
Kepentingan pasien untuk libur/izin untuk tidak bekerja/bersekolah/beraktifitas
lain. Dan kepentingan perusahaan/sekolah/penerima jasa lainnya agar pasien
tetap menjalankan kewajiban sebagaimana mestinya.
Masalah muncul ketika pasien sebagai pihak pertama
selanjutnya memanfaatkan surat DC dengan cara yang tidak bijak. Oke, saya yakin
banyak diantara pembaca yang pernah meminta surat DC ke dokter untuk tidak
bekerja, padahal tidak benar-benar sakit atau sakitnya sebenarnya tidak
menyebabkan halangan bagi pasien untuk bekerja. Saya kategorikan oknum pasien
dalam 3 kategori:
- Pasien yang benar-benar sakit dan membutuhkan surat DC
- Pasien yang sakit ringan, secara indikasi tidak menghalangi aktifitasnya, namun menginginkan surat DC karena merasa tidak mampu beraktifitas
- Pasien yang sama sekali tidak sakit, berpura-pura sakit karena menginginkan surat DC
Mari kita garis bawahi 2 hal, yaitu butuh dan ingin. Dokter
sebagai tenaga profesional seharusnya memberikan DC kepada mereka yang
membutuhkan. Catat, bahwa butuh disini artinya pasien perlu istirahat dalam
proses penyembuhan penyakitnya. Terlepas dari apakah pasien tersebut ingin atau
tidak, meminta atau tidak, sebaiknya dokter membuatkan surat keterangan sakit
tersebut. Ada indikasi-indikasi tertentu baik secara klinis maupun laboratoris
yang membuat pasien berhak mendapatkan surat DC. Sehingga pasien dalam kategori
1 berhak mendapatkan surat DC.
Berpindah ke kategori 2. Bagaimana seharusnya dokter
menyikapi? Disinilah gesekan 2 kepentingan tersebut terjadi. Disisi pasien, dia
menginginkan libur/istirahat dari aktifitas, disisi perusahaan mereka
menginginkan pasien tetap bekerja. Keputusan klinis ada di tangan masing-masing
dokter. Penulis sendiri memilih menggunakan indikasi sosial untuk memberikan
surat DC pada pasien kategori 2. Tergantung pekerjaan pasien, sakit pasien,
aktifitas pasien di rumah dan lain-lain. Ya dalam hal ini pasien bukan orang
yang terlalu idealis dengan indikasi, penulis lebih sering menggunakan nilai
rasa dalam mengeluarkan surat DC untuk pasien kategori 2.
Dan akhirnya membahas kategori 3, oknum yang memanfaatkan
surat DC secara tidak bijak. Sepertinya tidak perlu dibahas terlalu jauh. Saya
yakin banyak diantara pembaca yang tahu bahkan mungkin pernah seperti ini. Bagi
yang pernah dan tetap mendapatkan Surat DC, mungkin anda adalalah orang yang
beruntung. Sedangkan bagi yang pernah namun tidak mendapatkan, mungkin Tuhan
tidak ingin anda berbuat dosa. Pada intinya, dokter pasti akan memberikan surat
DC jika dokter menganggap pasien membutuhkan itu. Penulis cukup sering
mendapati oknum pasien yang mengamuk karena tidak diberikan surat DC. Setingkat
lebih rendah, ada pasien yang membuang kertas resep yang saya berikan, karena
tidak diberikan surat DC. Yang menandakan bahwa pasien tersebut datang ke
pelayanan kesehatan hanya untuk mendapatkan surat DC. Paling parah beberapa
hari sebelum penulis menulis tulisan ini, seorang oknum pasien datang ke tempat
tugas penulis tepat pukul 00.00 wita untuk meminta surat DC. Logiskah? Tentu
tidak.
Mungkin bagi beberapa orang yang masuk dalam kategori 2 atau
3 yang tidak mendapatkan surat DC pasti mengumpat kepada dokternya, baik secara
langsung ataupun di dalam hati. Bukan bermaksud tidak mau membantu, tetapi
dokter ditempatkan pada posisi diantara 2 kepentingan seperti yang penulis
sudah katakan sebelumnya. Dan surat DC sebagai sebuah dokumen penting, dokter
dapat dituntut jika mengeluarkan surat sakit tidak sesuai kenyataan.
Berlebihan? Mungkin pembaca ada yang menganggap begitu, bahkan saya juga dulu
menganggap demikian. Tapi penulis sendiri pernah mengalaminya sendiri. Ketika
pihak perusahaan datang ke puskesmas tempat penulis pernah bertugas untuk
mengaudit surat-surat sakit yang dikeluarkan puskesmas kepada
pegawai-pegawainya. Syukurlah puskesmas saya bertugas dulu tegas terhadap
penerbitan surat DC, sehingga tidak ditemukan penyelewengan disana. Seandainya
tidak? Bisa saja puskesmas bahkan dokter yang menerbitkan surat DC dituntut
secara hukum.
Diakhir
tulisan ini, penulis sebagai manusia tidak sempurna meminta maaf jika tulisan
ini mungkin menyinggung beberapa orang. Penulis hanya ingin menuangkan
pikiran-pikiran penulis. Penulis sendiri bukan orang yang sangat idealis.
Penulis kerap menggunakan indikasi sosial dan nilai rasa dalam menerbitkan
surat DC. Semoga dengan tulisan ini kita sama-sama mengintrospeksi diri tentang
apa yang benar dan mana yang salah. Agar tercipta hubungan yang baik antara
dokter dan pasien, pasien dengan perusahaan dan dokter dengan perusahaan. Janganlah sampai Surat Keterangan yang seharusnya menerangkan, malah menjadi menggelapkan. Terimakasih.