kenali lebih jauh

Sabtu, 23 Juli 2016

Surat Keterangan Sakit: Menerangkan atau Menggelapkan


Setelah vakum menulis hampir seminggu, akhirnya hari ini menulis kembali. Kali ini penulis akan menulis tentang hal yang dekat dengan dunia penulis - kesehatan. Oh ya, penulis adalah seorang dokter internship di salah satu RS di Denpasar. Bukan akan membahas penyakit, obat, atau kasus medis lainnya. Penulis masih berdiri di jalur kritik sosial, mungkin hobi, mungkin memang jalannya. Kali ini penulis akan membahas tentang Surat Sakit atau Surat Keterangan Sakit.


Surat Sakit atau Surat Keterangan Sakit atau kerap juga disebut Surat DC adalah surat yang dikeluarkan oleh pusat pelayanan kesehatan (RS/Puskesmas/Klinik), dengan dokter sebagai penanggung jawab. Lazimnya surat keterangan sakit dipergunakan untuk menerangkan bahwa seseorang tersebut sakit dan tidak bisa untuk menjalankan aktifitas tertentu, misal bekerja atau bersekolah. Mengapa penulis membahas masalah ini? Bagi yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan pasti pernah merasakan harus adu mulut dengan beberapa oknum pasien atau bahkan bukan pasien (saya jelaskan di belakang) yang meminta surat keterangan sakit tanpa indikasi (bahkan cenderung memaksa). Seberapa berharganya sebuah surat DC bagi seorang pasien? Mengapa surat DC tersebut begitu penting?


Perlu diketahui bersama bahwa surat DC adalah sebuah dokumen penting yang dikeluarkan oleh seorang dokter. Penting karena dengan surat DC seseorang pasien dapat mendapatkan izin dari aktifitasnya bekerja atau bersekolah, sedangkan bekerja dan bersekolah adalah kewajiban pasien tersebut. Dengan kata lain, surat DC mengantarkan pasien untuk lepas dari kewajibannya. Disini terjadi tarik menarik 2 kepentingan dimana dokter berada di tengahnya. Kepentingan pasien untuk libur/izin untuk tidak bekerja/bersekolah/beraktifitas lain. Dan kepentingan perusahaan/sekolah/penerima jasa lainnya agar pasien tetap menjalankan kewajiban sebagaimana mestinya.


Masalah muncul ketika pasien sebagai pihak pertama selanjutnya memanfaatkan surat DC dengan cara yang tidak bijak. Oke, saya yakin banyak diantara pembaca yang pernah meminta surat DC ke dokter untuk tidak bekerja, padahal tidak benar-benar sakit atau sakitnya sebenarnya tidak menyebabkan halangan bagi pasien untuk bekerja. Saya kategorikan oknum pasien dalam 3 kategori:

  1. Pasien yang benar-benar sakit dan membutuhkan surat DC
  2. Pasien yang sakit ringan, secara indikasi tidak menghalangi aktifitasnya, namun menginginkan surat DC karena merasa tidak mampu beraktifitas
  3. Pasien yang sama sekali tidak sakit, berpura-pura sakit karena menginginkan surat DC
Mari kita garis bawahi 2 hal, yaitu butuh dan ingin. Dokter sebagai tenaga profesional seharusnya memberikan DC kepada mereka yang membutuhkan. Catat, bahwa butuh disini artinya pasien perlu istirahat dalam proses penyembuhan penyakitnya. Terlepas dari apakah pasien tersebut ingin atau tidak, meminta atau tidak, sebaiknya dokter membuatkan surat keterangan sakit tersebut. Ada indikasi-indikasi tertentu baik secara klinis maupun laboratoris yang membuat pasien berhak mendapatkan surat DC. Sehingga pasien dalam kategori 1 berhak mendapatkan surat DC.


Berpindah ke kategori 2. Bagaimana seharusnya dokter menyikapi? Disinilah gesekan 2 kepentingan tersebut terjadi. Disisi pasien, dia menginginkan libur/istirahat dari aktifitas, disisi perusahaan mereka menginginkan pasien tetap bekerja. Keputusan klinis ada di tangan masing-masing dokter. Penulis sendiri memilih menggunakan indikasi sosial untuk memberikan surat DC pada pasien kategori 2. Tergantung pekerjaan pasien, sakit pasien, aktifitas pasien di rumah dan lain-lain. Ya dalam hal ini pasien bukan orang yang terlalu idealis dengan indikasi, penulis lebih sering menggunakan nilai rasa dalam mengeluarkan surat DC untuk pasien kategori 2.


Dan akhirnya membahas kategori 3, oknum yang memanfaatkan surat DC secara tidak bijak. Sepertinya tidak perlu dibahas terlalu jauh. Saya yakin banyak diantara pembaca yang tahu bahkan mungkin pernah seperti ini. Bagi yang pernah dan tetap mendapatkan Surat DC, mungkin anda adalalah orang yang beruntung. Sedangkan bagi yang pernah namun tidak mendapatkan, mungkin Tuhan tidak ingin anda berbuat dosa. Pada intinya, dokter pasti akan memberikan surat DC jika dokter menganggap pasien membutuhkan itu. Penulis cukup sering mendapati oknum pasien yang mengamuk karena tidak diberikan surat DC. Setingkat lebih rendah, ada pasien yang membuang kertas resep yang saya berikan, karena tidak diberikan surat DC. Yang menandakan bahwa pasien tersebut datang ke pelayanan kesehatan hanya untuk mendapatkan surat DC. Paling parah beberapa hari sebelum penulis menulis tulisan ini, seorang oknum pasien datang ke tempat tugas penulis tepat pukul 00.00 wita untuk meminta surat DC. Logiskah? Tentu tidak.


Mungkin bagi beberapa orang yang masuk dalam kategori 2 atau 3 yang tidak mendapatkan surat DC pasti mengumpat kepada dokternya, baik secara langsung ataupun di dalam hati. Bukan bermaksud tidak mau membantu, tetapi dokter ditempatkan pada posisi diantara 2 kepentingan seperti yang penulis sudah katakan sebelumnya. Dan surat DC sebagai sebuah dokumen penting, dokter dapat dituntut jika mengeluarkan surat sakit tidak sesuai kenyataan. Berlebihan? Mungkin pembaca ada yang menganggap begitu, bahkan saya juga dulu menganggap demikian. Tapi penulis sendiri pernah mengalaminya sendiri. Ketika pihak perusahaan datang ke puskesmas tempat penulis pernah bertugas untuk mengaudit surat-surat sakit yang dikeluarkan puskesmas kepada pegawai-pegawainya. Syukurlah puskesmas saya bertugas dulu tegas terhadap penerbitan surat DC, sehingga tidak ditemukan penyelewengan disana. Seandainya tidak? Bisa saja puskesmas bahkan dokter yang menerbitkan surat DC dituntut secara hukum.


Diakhir tulisan ini, penulis sebagai manusia tidak sempurna meminta maaf jika tulisan ini mungkin menyinggung beberapa orang. Penulis hanya ingin menuangkan pikiran-pikiran penulis. Penulis sendiri bukan orang yang sangat idealis. Penulis kerap menggunakan indikasi sosial dan nilai rasa dalam menerbitkan surat DC. Semoga dengan tulisan ini kita sama-sama mengintrospeksi diri tentang apa yang benar dan mana yang salah. Agar tercipta hubungan yang baik antara dokter dan pasien, pasien dengan perusahaan dan dokter dengan perusahaan. Janganlah sampai Surat Keterangan yang seharusnya menerangkan, malah menjadi menggelapkan. Terimakasih.

Jumat, 15 Juli 2016

Belajar dari Keruntuhan Nokia: Zona Nyaman Tak Selamanya Aman


Siapa tak kenal Nokia. Raksasa Telekomunikasi dunia yang hampir satu dekade menguasai pangsa pasar telepon genggam di Indonesia, bahkan dunia. Ponsel yang sempat hits di awal tahun 2000an ini, dalam waktu singkat lenyap, kehilangan taringnya. Dalam hitungan bulan, samsung, orang lama di dunia telekomunikasi, menggeser nokia, dan menjelma menjadi raksasa telekomunikasi saat ini. Hingga akhirnya perusahaan ini resmi dibeli oleh Microsoft dengan harga miring, 7,2 miliar dolar AS atau setara 79 triliun rupiah. Apa yang salah dengan nokia?

CEO Nokia, Stephen Elop mungkin tak berbuat salah yang menyebabkan perusahaan besar ini runtuh seketika. Tetapi, tidak berbuat apa-apa juga bukan berarti dibenarkan. Ketika Apple mengeluarkan iPhone pada tahun 2007, kemudian operation system bergeliat pada Android dan Blackberry OS, Nokia masih nyaman pada symbian, OS pendampingnya sejak lama. Ketika vendor lain mulai menawarkan kecanggihan tiada tara, nokia masih berkutat pada zona nyamannya yang menawarkan kemudahan dalam penggunaan dan baterai yang tahan lama. Respon lambat Nokia dengan menggandeng Microsoft sebagai operation system juga tak banyak membantu. Microsoft yang saat itu masih sangat primitif tidak mampu menarik minat pasar yang tergiur akan kemampuan android. Dan bimsalabim, raksasa nokia, berubah menjadi rakyat jelata di dunia ponsel.

Mari ke pokok masalah. Penulis bukan ahli teknologi yang selalu tahu informasi terkini tentang dunia telekomunikasi. Nokia hanya menjadi dasar perbincangan di tulisan ini, yaitu zona nyaman. Belajar dari apa yang terjadi pada nokia. Kerap kali begitulah manusia, termasuk saya di dalamnya. Tidakkah sering kali kita begitu nyaman dengan kondisi kita sekarang, tanpa ada usaha untuk maju, atau minimal berubah. Tak menyalahkan. Setiap orang hidup untuk bahagia, dan zona nyamannya sudah cukup menawarkan kebahagiaan. Untuk apa keluar, kalau kita tidak yakin itu akan lebih baik. Begitulah kiranya pandangan banyak orang tentang hidup. Mensyukuri apa yang ada mungkin menjadi salah satu alasannya juga. Ya, tidak sepenuhnya salah.

Lalu, kenapa harus keluar dari zona nyaman? Karena anda tidak hidup sendiri, dan hidup adalah kompetisi. Mari keluar dari mindset bahwa kompetisi adalah sebatas lomba, atau persaingan antara orang dalam suatu bidang. Kompetisi dalam kehidupan yang sesungguhnya adalah kompetisi dalam melawan diri sendiri. Melawan rasa cepat puas tidaklah mudah. Apalagi ketika semua target sudah tercapai. Sama seperti yang terjadi pada nokia. Ketika berada di atas, dan semua rasanya telah dicapai, mereka memilih bergerak lambat, bahkan cenderung diam. Sedangkan vendor yang lain bergerak cepat, berproses untuk mencapai posisi yang lebih tinggi. Demikian juga di kehidupan kita. Ketika anda memilih diam berada di zona nyaman anda, banyak orang sedang berprose untuk melampaui anda. Dan sama dengan nokia, anda tersungkur.

Manusia dihadapkan pada dua pilihan. Diam dan menikmati apa yang sudah ada ditangan atau keluar, tanpa tahu di luar akan jadi lebih baik atau buruk. Dan sayangnya kebanyakan pasti memilih diam, saya salah satunya. Keluar dari zona nyaman, artinya kita berproses. Berusaha berubah, berusaha memperbaiki diri. Bagaimana kalau gagal? dan malah menyebabkan kita kehilangan zona nyaman kita? Itulah resiko. Dan memang kita hidup di dunia yang dipenuhi dengan resiko. Tapi percayalah, bahwa manusia tidak akan pernah belajar, jika dia memilih untuk diam di zona nyamannya. Manusia tidk akan bisa berproses ketika dia memilih untuk dia dan puas dengan keadaannya sekarang. Bukan bermaksud mengajarkan untuk tidak bersyukur. Namun Tuhan tentu juga mengajarkan kita untuk selalu memperbaiki diri.

Di akhir tulisan yang singkat ini, penulis mengajak semuanya untuk berproses bersama. Tetaplah bergerak, tetaplah berusaha memperbaiki diri menjadi lebih baik. Keluarlah dari zona nyaman, dan biarkan mimpi-mimpi dan target-target membawamu terus bergerak. Karena pada dasarnya hidup itu seperti sebuah sepeda. Untuk membuatnya tidak terjatuh, anda harus mengayuhnya terus menerus. Semangat Berproses!!

WAR, 15072016

Rabu, 13 Juli 2016

Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI): Mau Dibawa Kemana?


Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, menjadi tonggak ikrar rasa kebersamaan para pemuda Indonesia. Keterikatan atas persamaan tumpah darah dan bangsa, dan pesepakatan untuk menjunjung Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Siapa sangka, Bahasa Indonesia yang berlatarkan bahasa melayu, akhirnya dipilih menjadi bahasa persatuan, bukan Bahasa Jawa, yang pada zaman itu adalah bahasa dengan penutur terbanyak. Ya, saya percaya, kebersamaan selalu sukses menumbangkan individualitas. Dan inilah Indonesia sekarang, bangsa dengan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Delapan puluh delapan tahun sumpah pemuda telah berlalu. Bahasa Indonesia yang konon adalah bahasa persatuan kini banyak ditinggalkan. Mungkin tidak ditinggakan seratus persen, tetapi martabatnya bagi banyak orang, tak lebih tinggi daripada bahasa asing. Bagaimana bisa kearifan sendiri kalah dengan milik asing? Tidak heran, ini Indonesia. Marilah melihat anak-anak generasi yang lahir setelah 2010, utamanya di kota-kota, atau lihatlah anak-anak artis atau selebritis yang sering di pajang di Instagram. Mereka diajarkan untuk memanggil Uncle atau Aunty daripada Oom atau Tante, atau bangun tidur dengan ucapan Good Morning bukan Selamat Pagi. Sedemikan tidak bergengsinya Bahasa Indonesia bagi banyak orang, dibandingkan Bahasa Inggris - Bahasa Asing. Baiklah, globalisasi akan terus menjadi kambing hitam atas masalah ini, dan masalah-masalah lain di negeri ini. Kadang SDM handal dinilai dari seberapa "barat" dia, dibandingkan seberapa "timur" dia. Ya, sekali lagi, Ini Indonesia.


Kali ini saya ingin membahas UKBI, Uji Kemahiran Bahasa Indonesia. Apa itu? Pasti banyak yang tidak tahu. Termasuk saya, sebelum tahun 2012. Untungnya tahun 2012 saya diberi kesempatan untuk mengikuti UKBI, bahkan berlatih UKBI berkali-kali. Sebut saja saat itu sebagai kebutuhan hidup. Kemudian, apakah saya menghayati apa dan bagimana itu UKBI? Sebagai insan yang berada di luar jalur kebahasaan, mungkin saya cukup, cukup tidak mampu.

UKBI atau Uji Kemahiran Bahasa Indonesia adalah sebuah tes atau ujian yang fungsinya untuk mengetahui kemampuaan seseorang dalam berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia. Oke, gampangnya, UKBI adalah TOEFL dalam Bahasa Indonesia. Atau saya lebih suka menyebut TOEFL adalah UKBI dalam Bahasa Inggris. Tapi khalayak umum pasti lebih tau apa itu TOEFL daripada UKBI. Sekali lagi, Ini Indonesia. UKBI merupakan tes kemahiran (profiency test), bukan tes pencapaian (achievement test). Tes kemahiran berbahasa mengacu pada kriteria penggunaan bahasa (situasi penggunaan bahasa sesungguhnya) yang dihadapi peserta uji. Penggunaan tersebut meliputi kecakapan hidup umum, yaitu ranah kesintasan dan ranah kemasyarakatan serta ranah kecakapan khusus, yaitu ranah keprofesian dan ranah keilmiahan. Intinya UKBI tidak sama dengan Ujian Nasional Bahasa Indonesia. Kita tidak akan menemukan pertanyaan tentang majas, interpretasi puisi dan lain-lain. Yang ada adalah tes yang menguji kemampuan "komunikasi". Berdasarkan Surat Keputusan Mendiknas Nomor 152/U/2003 tanggal 28 Oktober 2003, Menteri Pendidikan Nasional saat itu telah mengukuhkan UKBI sebagai sarana untuk menentukan kemahiran berbahasa Indonesia di kalangan masyarakat

Untuk menguji komunikasi, tentunya harus dinilai kemampuan berkomunikasi seseorang dalam bahasa lisan dan bahasa tulis. Oleh karena itu UKBI, terdiri dari 5 sesi; mendengarkan, merespon kaidah, membaca, menulis dan berbicara. Pada UKBI standar akan dinilai kelimanya. Dimana kita bisa mendapatkannya di Pusat Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Sedangkan UKBI Tara, yang hanya menilai sesi 1 sampai 3 bisa kita dapatkan di Balai-Balai Bahasa yang ada di masing-masing provinsi. Apakah UKBI susah? bagi saya yang bukan anak bahasa, UKBI lumayan menguras otak. Sebelas dua belas dengan saat saya mengerjakan ujian nasional Bahasa Indonesia. Artinya apa? Artinya, Bahasa Indonesia yang jelas-jelas bahasa kita sendiri, belum mampu dikuasi dengan baik.

Hasil UKBI berupa peringkat dan predikat yang ditentukan dari skor tertentu. Pemeringkatan hasil UKBI direpresentasikan kedalam tujuh peringkat; istimewa (725-800), sangat unggul (641-724), unggul (578-640), madya (482-577), semenjana (405-481), marginal (326-404) dan terbatas (251-325). Pada saat saya mengikuti UKBI Tara di tingkat provinsi pada tahun 2012 saya mendapat predikat sangat unggul. Turun menjadi unggul saat mengikuti UKBI Standar di tingkat nasional.

Untuk apa UKBI?
UKBI dirancangkan guna memartabatkan Bahasa Indonesia. Setidaknya, agar Bahasa Indonesia memiliki tempat di hati orang-orang Indonesia sendiri. UKBI bukan untuk memberatkan siapapun, bukan menambah pekerjaan, bukan dibuat tanpa alasan. Lihatlah berbagai tes, beasiswa, lomba, lowongan pekerjaan yang sangat banyak menyertakan TOEFL sebagai salah satu prasyarat. Sebut saja, perusahaan X yang terletak di Kota A di Indonesia yang membuka lowongan pekerjaan dengan prasyarat TOEFL. Maka diterimalah pegawai-pegawai yang dianggap mumpuni dalam Bahasa Inggris. Kemudian bagaimana Bahasa Indonesia mereka? apakah selama bekerja semua pekerja akan menggunakan bahasa Inggris? apakah laporan pekerjaan mereka akan mereka laporkan dalam bahasa Inggris? tentu saja tidak semuanya. Kemampuan berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia masihlah sangat penting adanya.

Mari kita bahasa yang lebih ekstrim. MEA 2015 sudah berjalan. Orang-orang asing berkeliaran mencari pekerjaan di Indonesia. Apa yang kita lakukan? Kita yang belajar bahasa Asing. Miris, jika kita menggunakan logika, mereka sebagai "tamu" lah yang seharusnya berdaptasi, bukan kita. Tapi, Indonesia tetaplah Indonesia. tetaplah TOEFL masih menjadi kebanggan prasyarat melamar pekerjaan. Dan bimsalabim orang-orang asing mendapat posisi bagus di perusahaan, sedangkan orang Indonesia berada di bawah. Tidakkah begitu rendahnya Indonesia sebagai tuan rumah, ketika para "tamu" dengan mudahnya masuk dan berkarir di Indonesia, sedangkan orang Indonesia bersusah payah untuk mendapatkan pekerjaan layak di luar negeri. Tidakkah seharusnya para "tamu" yang seharusnya beradaptasi, di uji kemampuannya berkomunikasi dengan orang Indonesia, tentunya dengan Bahasa Indonesia.

Menurut saya, kesanalah seharusnya UKBI dibawa. Sebagai uji yang benar-benar membuat komunikasi bahasa Indonesia di ranah pekerjaan, ilmiah dan terapan menjadi penting. Memartabatkan Bahasa Indonesia di negerinya sendiri. Membuat orang asing belajar Bahasa Indonesia sebelum mereka mencari pekerjaan di Indonesia. Membuat penggunaan Bahasa Indonesia diminati dan tidak ditinggalkan lagi. Jika ada yang pesimis dan berkata itu susah, maka berkacalah pada TOEFL sebagai kakak seperguruan. Tidakkah TOEFL telah sukses membuat kita ketar-ketir untuk belajar bahasa Inggris demi sebuah pekerjaan? maka seharusnya UKBI juga nantinya bisa seperti itu. Saya percaya, jika nanti UKBI telah menjadi prasyarat melamar pekerjaan, mencari beasiswa, bahkan menyelesaikan pendidikan tinggi di Indonesia, maka Bahasa Indonesia akan mendapatkan tempat di hati kita, orang-orang Indonesia. Astungkara!

Nb: permohonan maaf jika tulisan ini banyak melenceng dari kaidah penulisan artikel dalam Bahasa Indonesia. Penulis hanya menuangkan pemikirannya yang awam.

WAR, 13072016

Minggu, 10 Juli 2016

Kesetaraan Gender vs Keterwakilan Gender: Sebuah Perspektif Sederhana


Ibu Kita Kartini, Pendekar Bangsa, Pendekar Kaumnya, Untuk Merdeka
- Ibu Kita Kartini (W. R. Supratman)

R. A. Kartini, di Indonesia, siapa yang tidak mengenal beliau. Pahlawan Nasional Indonesia, yang dikenal sebagai pelopor peningkatan derajat perempuan di Indonesia. Perempun tanggung yang menjadi simbol perjuangan kesamaan hak kaum perempuan. Berbicara tentang RA Kartini, maka tidak akan lepas dari isi global - Kesetaraan Gender. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kesetaraan yang berasal dari kata Setara memiliki makna sejajar (sama tingginya dan sebagainya), sama tingkatnya (kedudukannya dan sebagainya) atau sepadan. Sedangkan dalam bahasa Inggris Kesetaraan Gender disebut Gender Equality yang bermakna the view that everyone should receive equal treatment and not be discriminated against based on their gender. Pada intinya kesetaraan gender adalah keadaan dimana laki-laki dan perempuan memiliki hak, kewajiban, dan kesempatan yang sama.

Banyak orang telah membahas sejauh mana kesetaraan gender ini bisa dilakukan. Apakah harus benar-benar disamakan, seperti misalnya laki-laki dan perempuan harus mengikuti program wajib militer. Akhirnya banyak orang, termasuk saya sepakat bahwa setara bukan berarti sama. Sehingga pada kasus kesetaraan gender, laki-laki dan perempuan diperlakukan sepadan, sesuai dengan seharusnya. Misal pegawai laki-laki dan perempuan yang melakukan pekerjaan yang sama, harus mendapatkan gaji yang sama atau tidak ada batasan bagi para mereka baik laki-laki maupun perempuan, yang merasa mampu, untuk mendapatkan suatu pekerjaan. Sekali lagi, sesuai dengan kemampuannya.

Kemudian hal lain yang menjadi perbincangan adalah kesetaraan gender yang kelewatan atau kebablasan. Gender tetaplah gender. Perempuan tetapkan dilahirkan untuk menjadi ibu, dan laki-laki tentunya ayahnya, tetap dengan kodratnya masing-masing. Namun, tidak bisa dipungkiri, kini banyak perempuan yang lupa akan kodratnya sebagai ibu, dan tenggelam dalam karirnya atau laki-laki yang dengan jumawa bersantai-santai di rumah, saat istrinya banting tulang mencari nafkah. Dan kembali kesetaraan gender dijadikan pembenaran atas hal ini. Menurut hemat saya sebagai orang awam, bukan aktivis kesetaraan gender, kaum feminist atau kaum anti kesetaraan, bukan setara semacam ini yang diharapkan terjadi. Perempuan tetaplah perempuan dan laki-laki tetaplah laki-laki, dalam koridor yang benar, dengan persamaan hak atas pengakuan bahwa mereka adalah manusia yang setara.

Tulisan saya kali ini tidak akan membahas dua hal di atas, yang tentunya sudah banyak dibahas oleh orang-orang lain yang tentunya lebih ahli dari saya. Sekali lagi saya adalah orang awam, bukan aktivis kesetaraan gender, kaum feminist atau kaum anti kesetaraan. saya awali dari pemahaman saya  bahwa setara adalah sepadan, dianggap sama, secara kesempatan tidak dibedakan. Maka kesetaraan gender artinya secara kesempatan, tidak dibedakan baik dia laki-laki maupun perempuan, haknya sama. Sebut saja dalam sebuah penelitian, ketikan kita menaruh asumsi bahwa laki-laki dan perempuan itu sama, artinya gender tidak berpengaruh terhadap variabel tergatung, sehingga variabel gender bisa ditiadakan. Misalnya ketika saya melakukan penelitian tentang pengaruh lama jam belajar efektif dengan nilai siswa suatu SMA. Maka ketika kita berasumsi bahwa laki-laki dan perempuan itu setara, sama, atau sepadan, variabel gender bisa kita keluarkan, sehingga tidak perlu diperhitungkan. Itu hanyalah contoh (saya bukan sarjana pendidikan, yang cukup paham apakah gender berpengaruh dalam prose belajar mengajar).

Beranjak dari pemahaman tersebut, beberapa minggu yang lalu saya tergelitik ketika di lingkungan komunitas saya digaungkan "kesetaraan gender" yang bagi saya merugikan beberapa pihak. Apa dan bagaimana itu, tidaklah perlu saya bahas. Saya hanya ingin mmbawa perspektif saya yang awam ini. Misalnya saya contohkan kasusnya seperti ini :

  1. Di sebuah kelas, setelah melewati satu semester, proses belajar mengajar, ulangan harian, dan ulangan umum. Terpilihlah juara 1, 2 dan 3 di kelas tersebut, dimana ketiga-tiganya adalah perempuan. Kemudian, dengan alasan kesetaraan gender, Sang Guru mengubah nilai siswa juara 3, sehingga dia tidak masuk 3 besar, digantikan oleh siswa lain, laki-laki. Sehingga kini 3 besar terihat cukup setara dengan 2 perempuan dan 1 laki-laki
  2. Kasus lainnya, di sebuah perusahaan akan dibentuk tim untuk akreditasi perusahaan. Dimana mereka yang masuk tim akan mendapatkan promosi kenaikan jabatan. Anggota tim haruslah orang-orang yang memang memiliki loyalitas terhadap perusahaan, dinilai dari poin penilaian oleh atasan. Ketika dipilih 10 orang, didapatkan 6 laki-laki dan 4 perempuan. Dan dengan alasan kesetaraan gender, orang laki-laki keenam, yang jelas memiliki loyalitas terhadap perusahaan, digugurkan dan digantikan oleh pegawai perempuan yang secara loyalitas kalah dengan laki-laki tadi.
Dari dua kasus tersebut (yang mewakili kasus yang saya alami), saya ingin mengantarkan sebuah pemahaman bahwa kesetaraan gender bukanlah keterwakilan gender. Ketika kita berbicara bahwa laki-laki dan perempuan setara, memiliki kesempatan yang sama. Maka mereka adalah manusia, tidak membawa entitas sebagai laki-laki ataupun perempuan. Yang membedakan mereka adalah apa yang mereka lakukan, apa yang mereka perjuangkan, kemampuan, pengabdian, usaha ataupun loyalitas mereka. Teramat sangat disayangkan ketika seseorang yang sepantasnya menerima haknya, malah digeser karena gender mereka. Pada kasus 1, apakah Si Juara 3 salah terlahir sebagai perempuan, sehingga dia tidak berhak menjadi juara 3. atau pada kasus kedua, apakah pegawai laki-laki tersebut salah lahir sebagai laki-laki? Terlepas dari keyakinan kita bahwa itu adalah takdir Tuhan, saya tetap menghayati bahwa siapapun dia, baik laki-laki ataupun perempuan, ketika sesuatu adalah haknya, apalai atas perjuangannya, maka mereka pantas mendapatkannya, tanpa alasan apapun termasuk kesetaraan gender.

Menurut saya, kesetaraan gender adalah keadaan universal dimana manusia adalah manusia. Sepadan secara peluang dan kesempatan. Sehingga dalam praktiknya, variabel-variabel lain yang dijadikan cara menilai manusia tersebut, bukan gender. Berbeda dengan keterwakilan gender, yang mendahulukan alasan gender dibandingkan variabel lain seperti kemampuan. Dan inilah yang kerap dibenarkan oleh banyak pihak. Orang-orang sering menganggap bahwa sesuatu yang memiliki persentase laki-laki dan perempuan yang sama itu adalah simbol kesetaraan gender, tanpa memikirkan apakah mereka memiliki kemampuan disana. Bagi kita yang berada di luar lingkaran itu mungkin tidak merasakannya. Namun bagi mereka yang ada di lingkaran tersebut, yang memperjuangkan sesuatu tersebut, dan kemudian digeser hanya karena alasan "kesetaraan gender" yang bagi saya adalah "keterwakilan gender", agaknya itu pasti mengecewakan.

Menutup tulisan ini, saya sebagai  orang awam, bukan aktivis kesetaraan gender, kaum feminist atau kaum anti kesetaraan ingin menghadirkan pemahaman dan perspektif saya tentang kesetaraan gender. Benar ataupun salah, mohon dimaafkan. Ini hanya tulisan kegundahan hati saya terhadap sesuatu yang dipikiran saya tidak benar. Saya menyebutnya letupan ide. Semua kembali kepada diri kita-masing-masing. Namun bagi saya, terlepas dari sesuatu itu adalah jalan Tuhan, manusia adalah manusia, ketika mereka layak, maka mereka harus mendapatkan haknya, tanpa memikirkan dia laki-laki ataupun perempuan. Karena pada dasarnya, manusia tidak bisa memilih dia terlahir sebagai laki-laki ataupun perempuan. Yang bisa dia pilih adalah berusaha, atau tidak berusaha.

WAR, 10072016

Sabtu, 09 Juli 2016

Zootopia: Where Anyone Can Be Anything. Bagaimana dengan Dunia Nyata?


Sudahkah anda menonton film animasi yang satu ini?
Zootopia, film animasi produksi Walt Disney ini adalah salah satu film animasi yang membekas di ingatan saya. Walaupun selama ini, menurut saya belum ada film animasi yang membuat saya kecewa setelah menonton. Mungkin karena pada dasarnya saya pribadi yang kekanak-kanakan. Tapi kalau dipikirkan lagi, film animasi tidak melulu soal anak-anak. Penikmatnyapun tidak saja anak-anak, bahkan orang dewasapun keranjingan menonton film animasi. Dan orang dewasa tersebut salah satunya adalah saya.

Oke, kembali ke topik, Zootopia. Film animasi binatang ini menceritakan seorang kelinci (saya menggunakan kata "seorang" karena di film tersebut para hewan bertingkah laku layaknya manusia) yang berusaha mewujudkan mimpinya menjadi seorang Polisi Wanita. Namanya Judy Hopps. Apa yang unik dari film ini? Ya, di film tersebut diceritakan bahwa kaum kelinci bukanlah kaum yang "biasa" menjadi polisi. Para kelinci "ditakdirkan" menjadi seorang petani. Namun Joody Hoops, menghancurkan anggapan itu dengan menjadi Polisi pertama dari kaum kelinci. Selanjutnya juga diceritakan bahwa untuk mendapatkan kepercayaan saat bertugas sebagai polisi, Judy Hopps harus bersusah payah, sampai akhirnya dia menunjukkan taringnya sebagai Polisi dengan memecahkan msalah besar di Zootopia, perang dingin antara predator dan mangsa.


Hal yang menarik bagi saya saat menonton film ini adalah tagline dari film tersebut. Where Anyone Can Be Anything, Dimana Setiap Orang Bisa menjadi Apapun. Sangat sederhana, namun agaknya luar biasa bagi saya. Pertanyaannya, sudahkah anda menjadi apa yang anda inginkan? ataukah masih ada pagar-pagar yang membatasi anda untuk menjadi apa yang anda mau? Sudahkah dunia umunya dan Indonesia khususnya memberi ruang kepada setiap insan untuk dapat menjadi apa yang mereka inginkan? Dari kacamata saya, saya katakan belum.

Dunia, apalagi Indonesia masih membuat pagar-pagar batasan yang membuat setiap orang belum bebas untuk memilih akan seperti apa dirinya. Kita lahir dengan stigma-stigma yang melekat dan susah untuk dilepaskan. Jenis kelamin, agama, ras, status sosial, ekonomi dan banyak lagi hal-hal yang membatasi kebebasan seseorang untuk menjadi yang dia inginkan. Bicaralah betapa banyak pemuda disekitar saya yang terpaksa bekerja kantoran seseuai harapan keluarga, padahal passion-nya pada industri kreatif seperti desain grafis, film atau fotografi. Atau betapa banyak lulusan SMA yang memilih jurusan bukan dari apa yang mereka mau, tapi apa yang orang sekitar mau. Atau yang lebih tragis lagi, betapa banyak anak yang punya cita-cita tinggi, namun terhenti karena masalah ekonomi. Atau yang sedikit lebih sederhana, masih ada pergunjingan masyarakat, jika di sekitarnya ada laki-laki yang memilih menjadi Perancang Busana atau Ahli Tata Rias atau perempuan yang memilih untuk berpenampilan maskulin dengan rambut pendek khas laki-laki.

Kita masih hidup dalam batasan-batasan yang membuat "apa yang saya mau" kalah dengan "seharusnya saya seperti apa". Mungkin tidak semua orang mengalami ini. Namun dari perspektif saya, masih banyak yang seperti ini. Mungkin saya salah satunya. Syukurnya, saya orang yang mudah mencintai "apa yang seharusnya" walaupun kadang itu bukan "apa yang saya mau". Walaupun katanya hidup itu pilihan, namun tidak semua bisa dipilih.

Lalu, apa yang sebenarnya harus dilakukan? seperti Judy Hopps yang memperjuangkan "apa yang dia mau" atau menjadi realistis dengan menjadi "apa yang seharusnya". Apakah si anak penggemar sejarah, harus masuk kelas IPA karena orang tuanya mau anaknya menjadi dokter? Apakah si gitaris harus bekerja kantoran, karena keluarga menganggap pemusik tidak punya masa depan pasti? Apakah si gadis harus berambut panjang, menggunakan gaun, ber make up tebal, saat dia lebih nyaman berpenampilan maskulin? atau banyak hal-hal lain yang mempertemukan "apa yang saya mau" dengan "apa yang orang lain mau" atau "apa yang seharusnya"

Pada dasarnya memilih apa yang terbaik bagi dirinya adalah hak asasi manusia. Hak yang sering kali kita lupakan, apalagi di Indonesia. Anak-anak Indonesia tidak dilatih untuk berpendapat ketika sesuatu tidak sesuai dengan apa yang dirinya mau. Setidaknya masih banyak anak yang "takut" dengan orang tuanya, bukan "hormat" dengan orang tuanya.

Dan pada akhirnya, semua ada ditangan anda. apakah anda akan menjadi "apa yang anda mau" ataukah anda akan menjadi "apa yang orang lain mau" atau "apa yang seharusnya". Apapun itu, jangan lupa mencintai pilihan anda. Perjuangkan pilihan anda, dan jangan menyesal atas apa pilihan anda. Terakhir, tanyakan pada hati terdalam anda, sudahkah anda berdiri di atas kaki anda sendiri, atau apakah kereta anda sudah berjalan menuju kota yang anda inginkan. Jangan lupa untuk bahagia!

WAR, 09072016

Kamis, 07 Juli 2016

Filosofi Lilin


Hari ini, saya memulai perjalanan baru hidup saya. Sebuah fase yang saya sebut sebagai berbagi. Saya bukan penulis, bukan penyair, apalagi seorang sastrawan. Saya hanya penikmat dunia. Selama ini saya hanya menjadi pembaca. Ya, bisa jadi saya adalah pembaca unggul. Saya gemar membaca tulisan-tulisan kreatif banyak orang. Jika anda seorang blogger, mungkin saya salah satu pemuja anda.

Namun akhirnya, membaca takkan pernah cukup tanpa usaha untuk menulis. Saya percaya bahwa membagi cerita pada khalayak akan berguna. Bukan artinya saya kaya akan pengetahuan, atau saya bergelimang ilmu. Saya adalah saya, pemuda yang banyak bicara, suka bercerita. Apapun itu, penting ataupun tidak penting, perlu atau tidak perlu. Saya hanya ingin berbagi bom-bom pemikiran yang kerap meletup-letup di otak saya. Dan bom itu kini saya bagi disini. Pemikiran-pemikiran aneh, kritik sosial, tulisan-tulisan kegelisahan, dan sedikit pengetahuan yang saya tahu, akan saya bagi disini. Sekali lagi, saya bukan manusia bergelimang pengetahuan. Hanya ingin berbagi cerita.

Pada akhirnya berbagi cerita seperti nyala lilin kecil di sudut ruangan, saat bilik gelap. Dia menerangi, terlihat mengorbankan diri. Tapi menurut saya, dia tidak kehilangan apa-apa. Mengapa? Karena dia disana bukan hanya untuk menerangi ruang. Dia berdiri juga untuk menerangi dirinya. Berbagi membuatnya lebih berguna. Dan ego kokohnya, menjadi cair dengan kemauan untuk berbagi. Lilin tidak pernah hilang, dia hanya berubah. Entah menjadi lebih baik atau tidak, berbagi terang membuat lilin menjadi lebih berguna.

Dan filosofi lilin membuat saya ingin berbagi lebih banyak. Berbagi cerita, berbagi letupan-letupan kecil di otak saya. Penting atau tidak penting, maafkan saya. Saya hanya menuangkan apa yang saya rasakan, apa yang saya tahu, apa yang saya lihat dari sudut bola mata saya. Dan cerita ini saya awali disini. dari sebuah nyala lilin kecil, di sudut ruangan. Semoga terangnya, nanti akan berguna.

A Candle Loses Nothing, by Ligthing Another Candle - Fr James Keller

WAR, 08072016